Oleh: Mila M. Lekatompessy, S.Hut
(Mahasiswa Program Studi Manajemen Hutan PPS Unpatti Ambon)
Maluku merupakan provinsi kepulauan dengan luas wilayah 712.480 km², terdiri atas 92,4% lautan dan 7,6% daratan serta memiliki 1.340 pulau dengan panjang garis pantai 10.662 km. Luas hutan Provinsi Maluku 3,9 juta ha atau 72,34% dari luas daratan atau 3,11% dari luas kawasan hutan indonesia, memiliki potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem serta potensi kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Di Provinsi Maluku terdapat 14 PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) yang dulunya dikenal dengan nama HPH atau IUPHHK, secara operasional diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal guna menghasilkan kontribusi profit bagi investasi dan penerimaan Negara. Genealogi perusahaan kayu ektsraktif ini secara umum dari masa ke masa bermain pada satu model yang menjadi core bussinessnya.
Perspektif multiusaha kehutanan sebagai satu gagasan inovatif diimplementasikan oleh Kementerian LHK semenjak tahun 2020 yang diperkuat lewat Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Bisnis kehutanan tidak lagi terfragmentasi ke satu lokus usaha (kayu) ansich namun telah dikembangkan menjadi sebuah model bisnis multiusaha dimana satu perizinan berusaha diberi ruang mengembangkan berbagai usaha pada sektor kehutanan. Multiusaha kehutanan kini menjadi model baru perizinan berusaha yang berlaku di seluruh provinsi di Indonesia, sehingga optimalisasi pemanfaatan hutan di provinsi Maluku oleh PBPH dapat disinkronkan dengan grand target Pemerintah yang didesain untuk bermuara pada tercapainya kelestarian hutan, kelestarian usaha dan kesejahteraan masyarakat serta berkontribusi lebih besar dalam aspek lain secara lebih luas yaitu penguatan dan dukungan dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan rencana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Berkenaan dengan upaya memaksimalkan pengelolaan hutan yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi di Provinsi Maluku, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK melakukan bimbingan teknis implementasi multi usaha kehutanan pada Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Provinsi Maluku bersama pelaku usaha bidang kehutanan yang ada di Provinsi Maluku. Diharapkan pemegang usaha pengelolaan kehutanan diberikan keleluasaan yang lebih baik, serta bertanggung jawab untuk melakukan transformasi dari perizinan pemanfaatan hasil hutan, pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan dalam bentuk penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang lebih terintegrasi dengan bentuk pengusahaan lainnya dengan model perizinan multi usaha.
Dari sisi lingkungan implementasi multiusaha kehutanan menjadi salah satu kunci untuk mencapai target nol emisi gas rumah kaca dari sektor berbasis hutan dan penggunaan lahan (Net Sink FOLU) di tahun 2030 sekaligus untuk memacu ekonomi terus tumbuh.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan termasuk terkait pengendalian perubahan iklim, telah terbit Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan peraturan pelaksananya. Pengaturan Perizinan Berusaha dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta regulasi turunannya, memungkinkan para pelaku usaha melakukan pengembangan multiusaha kehutanan. Pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
Dalam peraturan pemerintah tersebut, Menteri LHK menyampaikan bahwa secara jelas Pemerintah mendorong para pengusaha perhutanan tidak lagi berbisnis secara tunggal. Mereka didorong untuk berkontribusi lebih besar dalam aspek lain secara lebih luas yaitu penguatan dan dukungan dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan rencana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Keterpaduan untuk implementasi perizinan multiusaha kehutanan dan nilai ekonomi karbon perlu dikelola dan diintergrasikan dengan lebih tepat kedepan. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pengusaha kehutanan kedepan. Selain kinerja bisnis kehutanan yang lebih baik, dan berkelanjutan, mereka didorong sekaligus dapat mendukung upaya-upaya pencapaian target mitigasi perubahan iklim dalam komitmen NDC.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyampaikan model multiusaha kehutanan tersebut, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan jasa lingkungan, potensial menjadi bagian dari aksi mitigasi kehutanan berbasis lahan dalam rangka mendukung pencapaian target NDC Indonesia. Kontribusi pemegang Perizinan Berusaha dalam upaya mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dalam bentuk antara lain penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, perpanjangan siklus pemanenan, pengayaan, perlindungan dan pengamanan hutan serta perlindungan keanekaragaman hayati. Dari hasil aksi mitigasi tersebut, terbuka peluang bagi pemegang Perizinan Berusaha untuk memperoleh insentif berupa pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Indroyono menyatakan konsep bisnis multiusaha kehutanan harus diarahkan pada upaya riil untuk menurunkan emisi GRK, misalnya melalui silvikultur intensif, pengkayaan hutan, restorasi gambut, dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Konsep bisnis dari hulu ke hilir diterapkan, model bisnis end to end, sewa, agroforestry, silvofishery-silvopastura, dan menggunakan pengembangan bisnis kekinian dengan menggunakan konsep digital marketing, selain itu kawasan hutan juga dapat dimanfaatkan secara penuh oleh wisatawan, pihak perusahaan, serta masyarakat sekitar. Pengelolaan hutan tetap menggunakan prinsip kelestarian hutan yang ramah sosial, lingkungan dan bisnis/ekonomi.
Model bisnis Multiusaha Kehutanan meliputi berbagai macam sektor, optimalisasi dan pemanfaatan secara penuh kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi yang dapat memberikan dampak positif terhadap perusahaan, berdampak positif terhadap masyarakat sekitar, menaikkan kualitas hidup masyarakat, meningkatkan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) daerah, menjadi benchmark atau percontohan di taraf nasional.
Bisnis Multiusaha Kehutanan Sebagai Pola Integrasi Green Industry dan Green Economy Serta Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Di Provinsi Maluku
Oleh: Mila M. Lekatompessy, S.Hut
(Mahasiswa Program Studi Manajemen Hutan PPS Unpatti Ambon)
Maluku merupakan provinsi kepulauan dengan luas wilayah 712.480 km², terdiri atas 92,4% lautan dan 7,6% daratan serta memiliki 1.340 pulau dengan panjang garis pantai 10.662 km. Luas hutan Provinsi Maluku 3,9 juta ha atau 72,34% dari luas daratan atau 3,11% dari luas kawasan hutan indonesia, memiliki potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem serta potensi kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Di Provinsi Maluku terdapat 14 PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) yang dulunya dikenal dengan nama HPH atau IUPHHK, secara operasional diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal guna menghasilkan kontribusi profit bagi investasi dan penerimaan Negara. Genealogi perusahaan kayu ektsraktif ini secara umum dari masa ke masa bermain pada satu model yang menjadi core bussinessnya.
Perspektif multiusaha kehutanan sebagai satu gagasan inovatif diimplementasikan oleh Kementerian LHK semenjak tahun 2020 yang diperkuat lewat Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Bisnis kehutanan tidak lagi terfragmentasi ke satu lokus usaha (kayu) ansich namun telah dikembangkan menjadi sebuah model bisnis multiusaha dimana satu perizinan berusaha diberi ruang mengembangkan berbagai usaha pada sektor kehutanan. Multiusaha kehutanan kini menjadi model baru perizinan berusaha yang berlaku di seluruh provinsi di Indonesia, sehingga optimalisasi pemanfaatan hutan di provinsi Maluku oleh PBPH dapat disinkronkan dengan grand target Pemerintah yang didesain untuk bermuara pada tercapainya kelestarian hutan, kelestarian usaha dan kesejahteraan masyarakat serta berkontribusi lebih besar dalam aspek lain secara lebih luas yaitu penguatan dan dukungan dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan rencana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Berkenaan dengan upaya memaksimalkan pengelolaan hutan yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi di Provinsi Maluku, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK melakukan bimbingan teknis implementasi multi usaha kehutanan pada Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Provinsi Maluku bersama pelaku usaha bidang kehutanan yang ada di Provinsi Maluku. Diharapkan pemegang usaha pengelolaan kehutanan diberikan keleluasaan yang lebih baik, serta bertanggung jawab untuk melakukan transformasi dari perizinan pemanfaatan hasil hutan, pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan dalam bentuk penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang lebih terintegrasi dengan bentuk pengusahaan lainnya dengan model perizinan multi usaha.
Dari sisi lingkungan implementasi multiusaha kehutanan menjadi salah satu kunci untuk mencapai target nol emisi gas rumah kaca dari sektor berbasis hutan dan penggunaan lahan (Net Sink FOLU) di tahun 2030 sekaligus untuk memacu ekonomi terus tumbuh.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan termasuk terkait pengendalian perubahan iklim, telah terbit Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan peraturan pelaksananya. Pengaturan Perizinan Berusaha dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta regulasi turunannya, memungkinkan para pelaku usaha melakukan pengembangan multiusaha kehutanan. Pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
Dalam peraturan pemerintah tersebut, Menteri LHK menyampaikan bahwa secara jelas Pemerintah mendorong para pengusaha perhutanan tidak lagi berbisnis secara tunggal. Mereka didorong untuk berkontribusi lebih besar dalam aspek lain secara lebih luas yaitu penguatan dan dukungan dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan rencana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Keterpaduan untuk implementasi perizinan multiusaha kehutanan dan nilai ekonomi karbon perlu dikelola dan diintergrasikan dengan lebih tepat kedepan. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pengusaha kehutanan kedepan. Selain kinerja bisnis kehutanan yang lebih baik, dan berkelanjutan, mereka didorong sekaligus dapat mendukung upaya-upaya pencapaian target mitigasi perubahan iklim dalam komitmen NDC.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyampaikan model multiusaha kehutanan tersebut, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan jasa lingkungan, potensial menjadi bagian dari aksi mitigasi kehutanan berbasis lahan dalam rangka mendukung pencapaian target NDC Indonesia. Kontribusi pemegang Perizinan Berusaha dalam upaya mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dalam bentuk antara lain penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, perpanjangan siklus pemanenan, pengayaan, perlindungan dan pengamanan hutan serta perlindungan keanekaragaman hayati. Dari hasil aksi mitigasi tersebut, terbuka peluang bagi pemegang Perizinan Berusaha untuk memperoleh insentif berupa pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Indroyono menyatakan konsep bisnis multiusaha kehutanan harus diarahkan pada upaya riil untuk menurunkan emisi GRK, misalnya melalui silvikultur intensif, pengkayaan hutan, restorasi gambut, dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Konsep bisnis dari hulu ke hilir diterapkan, model bisnis end to end, sewa, agroforestry, silvofishery-silvopastura, dan menggunakan pengembangan bisnis kekinian dengan menggunakan konsep digital marketing, selain itu kawasan hutan juga dapat dimanfaatkan secara penuh oleh wisatawan, pihak perusahaan, serta masyarakat sekitar. Pengelolaan hutan tetap menggunakan prinsip kelestarian hutan yang ramah sosial, lingkungan dan bisnis/ekonomi.
Model bisnis Multiusaha Kehutanan meliputi berbagai macam sektor, optimalisasi dan pemanfaatan secara penuh kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi yang dapat memberikan dampak positif terhadap perusahaan, berdampak positif terhadap masyarakat sekitar, menaikkan kualitas hidup masyarakat, meningkatkan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) daerah, menjadi benchmark atau percontohan di taraf nasional.