Senang sekali mendengar kabar terpilihnya Pdt. Elifas Maspaitella sebagai Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), kelompok atau organisasi Kristen tebesar dan utama di Maluku, dengan kemenangan telak seperti “seng” ada perlawanan. Sebelumnya, Pdt. Elifas Maspaitella menjabat sebagai Sekretaris Sinode GPM 2015-2020.
Kabar menggembirakan ini saya dengar dari Profesor John Titaley (biasa saya sapa Om John), guruku dulu di UKSW, Salatiga, yang sejak beberapa tahun silam “hijrah” ke UKIM, Ambon. “Bapa piara su terpilih jadi Ketua Sinode GPM,” demikian tulisnya di Whatsapp.
Pdt. Elifas (biasa saya sapa Bung Eli) adalah teman baikku sejak lama-sejak kuliah S2 (Program Pascasarjana Sosiologi Agama) di UKSW dan terutama sejak saya tinggal serumah dengannya selama setahunan di Ambon (tepatnya di Wailela, Rumahtiga) ketika saya sedang melakukan penelitian untuk disertasi doktoral saya di Boston University, Amerika Serikat, tentang konflik dan perdamaian Kristen-Muslim di Ambon/Maluku.
Sejak tinggal di Amerika, baik saat studi S2 bidang studi Transformasi Konflik di Virginia maupun S3 Antropologi Budaya di Boston, saya kehilangan kontak Bung Eli. Padahal waktu studi doktoral saya butuh “orang Ambon” untuk memuluskan jalan penelitian. Om John kemudian menyarankan saya untuk tinggal di rumah Bung Eli yang juga muridnya dulu saat di UKSW. Beliau sendiri yang mengontak Bung Eli yang kala itu sebagai pendeta GPM di Wailela.
Singkat cerita, saat riset disertasi, saya kemudian tinggal bersama Bung Eli di pastori (“rumah dinas pendeta”) Wailela yang tidak jauh dari Universitas Pattimura. Jadi, selama tinggal di Ambon, Bung Eli menjadi “Bapa Piara” dan istrinya, Pdt. Dessy Aipassa, menjadi “Mama Piara”. Merekalah yang memberi makan ikan-ikan laut gratis sehingga membuat badanku dulu agak melar, gempal, dan lumayan montok qiqiqi. Padahal saat pertama datang agak kurusan kayak orang cacingan😁. Selain Papa Piara & Mama Piara, juga ada si kecil Ellexia, dua orang “cantrik” yang mengurus rumah, dan seekor anjing bernama Brino.
Pastori Wailela tempat Bung Eli tinggal bersebelahan dengan Gereja Fajar Hidup tempat utama Bung Eli memimpin ibadah. Sangking dekatnya saya sudah biasa mendengarkan nyanyian ritual & khotbah Minggu serta acara-acara ibadat lain.
Saya pernah menulis beberapa seri (mungkin sampai 8-9 seri saya lupa) Kuliah Virtual di Facebook tentang kisah suka-duka saya dengan Bung Eli selama riset doktoral di Ambon. Mungkin lain kali “cerbung” ini saya lanjutkan, kalau tidak lupa. Saya itu sering lupa, kecuali urusan makan dan titik titik😁
Singkat cerita, saya bersaksi, Bung Eli adalah figur yang sangat tepat memimpin GPM. Ia orang yang cerdas dan berwawasan luas tentang sejarah dan dunia Ambon dan Maluku secara umum, termasuk sejarah perjumpaan dan relasi Muslim-Kristen. Disertasiku di Boston juga banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan mengalir deras seperti air terjun Niagara.
Bung Eli juga seorang penulis andal dan produktif yang sudah banyak melahirkan tulisan. Ia juga seoorang pengkhotbah dan pembicara publik yang sangat baik dan “inspiring”.
Lebih dari itu, Bung Eli adalah sosok pemikir dan tokoh agama progresif-toleran-pluralis yang jauh dari watak dan tindakan konservatisme, intoleransi, apalagi radikalisme. Ia juga sosok yang pro-perdamaian dan anti-kekerasan. Itulah sebabnya ia berteman baik dengan kaum Muslim, termasuk tokoh-tokohnya. Para tokoh Muslim setempat juga sangat respek dengan Bung Eli. Waktu riset dulu, Bung Eli sering memperkenalkan dan mengantarku bertemu dengan tokoh-tokoh Muslim setempat untuk keperluan wawancara.
Ambon dan Maluku secara umum yang pernah memiliki sejarah kelam konflik dan kekerasan komunal “berbau” agama & politik sangat memerlukan figur-figur atau tokoh agama andal (baik di kalangan Kristen maupun Muslim) seperti Bung Eli ini: muda, pemberani, visioner, progresif, pluralis, dan pacifis (pro-perdamaian & nirkekerasan).
Tetapi prasyarat itu saja tidak cukup untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, baik pemimpin agama maupun politik. Diperlukan sejumlah syarat lain seperti bersih (tidak korup), berintegritas, dan pekerja keras. Dan semua itu juga ada di dalam diri Bung Eli.
Bung Eli adalah sosok yang bersih tidak neko-neko, anti suap & korupsi, dan bergaya hidup sederhana yang hidup dari gaji pendeta yang tidak seberapa jumlahnya, mungkin ditambah honor menulis, ceramah, atau khotbah di gereja lain (kalau diberi honor tentunya). Dulu, kendaraan andalannya untuk bekerja dan beraktivitas adalah “motor butut” yang sering mogok. Kalau mogok, ia jalan dan ditinggal saja motornnya. Kenapa nggak dibawa? “Mana ada orang mau ambil motor butut itu?”, jawabnya.
Bung Eli juga sosok yang berintegritas. Ia tidak mau gerejanya diseret-seret ke dalam arus kepentingan politik pragmatis parpol manapun (misalnya untuk ajang kampanye parpol) dijadikan sebagai corong partai tertentu misalnya. Ia tahu jemaatnya ada di berbagai partai politik sehingga diperlukan sikap netralitas supaya tetap merekatkan jemaat serta tidak melukai mereka.
Pula, Bung Eli adalah sosok pekerja keras yang sangking kerasnya ia sering melupakan tubuhnya yang kerap remuk redam. Kalau capek, obatnya urut dan pijat di pastori. Ada tukang urut/pijat andalan di Wailela dulu. Bung Eli keliling atau blusukan ke berbagai daerah di Maluku. Apalagi dulu, selain sebagai pendeta, Bung Eli juga menjadi Ketua Angkatan Muda GPM yang mengharuskan ia keliling ke-sentero Maluku. Kerja kerasnya tampak saat melayani jemaat & umat Kristen lain, mengabdi pada negara / pemerintah, maupun saat menulis (khotbah, artikel, buku, paper semnar/workshop, dlsb).
Akhirul kalam, dari Arab Saudi saya mengucapkan selamat atas terpilihnya Bung Eli sebagai Ketua Sinode GPM. Semoga dengan terpilihnya Bung Eli sebagai Ketua Sinode yang baru, situasi Ambon dan Maluku bertambah baik dan hubungan Kristen-Muslim bertambah harmonis sehingga spirit Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika tetap terpelihara dengan sempurna di bumi rempah-rempah ini.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
PS: foto di atas adalah “penampakan” saya dan Bung Eli di zaman dahulu kala saat riset disertasi. Lokasi depan pastori dan samping Gereja Fajar Hidup.
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Direktur Nusantara Institute, dosen King Fahd University, dan senior scholar Middle East Institute