7 Tahun Terlantar, Masa Depan Pengungsi Pelauw Semakin Tidak Menentu – Pelauw adalah sebuah desa adat (istilah Maluku Tengah: negeri) yang berada di wilayah bagian utara Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku
Negeri Pelauw adalah satu di antara lima negeri di jazirah Hatuhaha (Amarima Hatuhaha) yang mayoritas penduduknya beragama Islam Sunni yaitu bersama negeri-negeri Kailolo, Rohomoni, Kabauw, dan Hurariu yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, yaitu negeri Hulaliu.
Persekutuan Uli Hatuhaha mengambil nama dari sebuah kerajaan Islam setempat (kerajaan Hatuhaha), yang pada masa awal penjajahan kerap menentang kolonial Portugis dan Belanda.
Anda mungkin sering mendengar nama Latuconsina, seperti mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina yang merupakan pengagas konsep pembangunan gugus pulau di Maluku , mantan anggota DPR RI Ishak Latuconsina, atau yang terbaru aktris Prilly Latuconsina.
Sebagian besar pasti menduga berasal dari Ambon atau Maluku. Tidak salah-salah amat, karena memang asal mereka dari sana. Namun pasti orang tak akan tahu bahwa leluhur mereka berasal dari Negeri Pelauw yang terletak di sebelah utara Pulau Haruku.
Selain punya sejarah orang-orang terkenal, Desa Pelauw punya Catatan Sejarah konflik yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian materiil, seperti terjadi pada dua pekan lalu, terjadi pula sekitar tahun 1980 dan pertengahan 2011 dan 2012
Konflik Ideologi Desa Pelauw
Konflik yang terjadi di pelauw merupakan konflik antara dua kekuatan penganut hizab yang berbeda, perbedaan pada tanggal penentuan hizab dimana hizab pertama sebagai kelompok muka dengan penentuan 1 muharam lebih awal dan kelompok belakang yang penentuan hizabnya 3 sampai 4 hari kemudian.
Disebut kelompok muka (OM =orang muka) kelompok ini merayakan hari besar islam lebih duluan (di muka/duluan) umumnya bersamaan dengan hari raya masyarakat islam indonesia, dan disebut kelompok belakang (OB=orang belakang) karena melaksanakan hari raya belakangan (beberapa hari kemudian) bisa sampai 4 hari kemudian.
Ritual penentuan hari-hari besar islam di pelauw atau hatuhaha dilaksanakan melalui konferensi adat tahunan untuk menentukan awal 1 muharam dengan menggunakan sistim hizab. Di Hatuhaha terdapat sebuah sistim hizab yang dipegang oleh beberapa rumah soa, untuk dapat mengetahui dan menentukan hari-hari raya islam selanjutnya.
Penentuan itu berdasarkan ketetapan adat atau konferensi hizab yang dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat tertentu. Selajutnya berdasarkan keputusan konferensi adat tersebut akan ditentukan Hari-hari besar islam selama setahun bagi warga hatuhaha.
Hari-hari besar tersebut bagi warga hatuhaha (pelau rohomoni dan sebahagian kabau) adalah saat-saat melaksanakan amalan-amalan jasmani dan rohani.
Dualisme penetapan 1 muharam dimulai pada tahun 1981 ketika itu hatuhaha masih dipimpin oleh Bpk. Raja Abd.Basir Latuconsina (ayahanda dari Bpk.Efendy Latuconsina/raja sekarang).
Berdasarkan konferensi adat saat itu ditetapkan 1 muharam lebih awal 3 hari dari yang seharusnya, karena jika dibandingkan dengan melihat hilal terjadi berbedaan yang sangat besar dimana posisi bulan terlihat jelas sedangkan berdasarkan hizab belum muncul.
Sehingga pada saat lebaran 1 syawal masyakat islam pada umumnya sudah melaksanakan hari raya sedangkan di pelau dan rohomoni 3 atau 4 hari kemudian. Dengan berbagai pertimbangan saat itu diputuskan untuk dinormalkan kembali ke posisi yang seharusnya. (hal ini mirip seperti yang dilakukan di kesultanan ternate setiap 100 tahun menormalkan posisi hizab).
Setiap Keputusan adat di hatuhaha, selalu dilakukan dengan berbagai ritual dengan prosedur standar yang sudah tetap yang dilakukan secara sakral, jadi tidak serta-merta mejadi keputusan pemangku adat dan masyarakat, tapi juga menjadi keputusan dunia gaib, atau diberitakan kepada dunia gaib melalui amalan-amalan tertentu yang sudah diyakini, sehingga keputusan itu juga menjadi keputusan yang sakral.
Keputusan normalisasi hizab pada tahun 1981 tersebut rupanya tidak diikuti oleh seluruh warga hatuhaha terutama rohomoni dan kabau serta sebahagian kecil warga pelauw (kelompok OB). Yang selanjutnya khusus di negeri Pelauw selalu menjadi dua kelompok yang selalu berseberangan dalam hal pelaksanaan ritual adat, kelompok OM adalah kelompok mayoritas di pelauw dan kelompok OB adalah kelompok minoritas.
Karena perbedaan yang terus meruncing, konflik atara kedua kelompok yang tidak mereda akhirnya dilakukan kesepakatan (bukan kesepakatan adat) antara Bpk.Raja Pelauw (sekarang) dengan tokoh-tokoh adat dari kelompok OB (yang selalu dimotori oleh kelompok intelektual) pada tahun 2002 dengan kesepakatan bahwa jika mayoritas masyarakat pelauw mau mengikuti hizab lama maka akan diputuskan menggunakan hisab lama, akan tetapi jika sebaliknya mayoritas tidak melaksanakan maka seluruh masyarakat baik OB maupun OM akan menggunakan sistim hizab baru.
Namun dalam perjalanannya selama tiga tahun hanya sedikit sekali kelompok masyarakat yang mengikuti hizab lama yakni sebahagian kecil saja warga soa Latuconsina (yang mau mengikuti ajakan raja) dan juga sebahagian kecil warga soa Tualeka. Selama 3 tahun masyarakat pelau lebih banyak sembahyang hari-raya di mushallah dan hanya beberapa orang saja yang sembahyang di mesjid adat pelauw.
Karena perbedaan hari yang sangat jauh dengan masyarakat umum yaitu 3 bahkan 4 hari serta posisi bulan yang sudah terlampau jauh diatas. Masyarakat pelau OM malu melaksanakan lebaran idhul fitri atau idhul adha 3 atau 4 hari kemudian setelah masyakat islam indonesia selesai melaksanakan hari raya. Masyarakat juga malu melaksanakan hari raya 1 syawal pada saat posisi bulan jelas-jelas sudah 3 hari bahkan 4 hari.
Karena kenyataannya sebahagian besar masyarakat tidak menerima menggunakan sistim hizab lama sehingga sesuai dengan kesepakatan, seluruh masyarakat OB dan OM harusnya kembali kepada hizab baru, akan tetapi para tokoh adat kelompok OB mengingkari kesepakatan dan tetap tidak mau menggunakan sistim hizab baru.
Karena desakan mayoritas masyarakat pelau OM, sehingga akhirnya para pemangku adat yang berkompeten dalam penetuan hizab dipaksa untuk kembali menjalankan hizab tahun 1981 hingga sekarang yang beresiko pada konflik yang tidak pernah berhenti.
Pasca Konflik, Masa Depan Pengungsi Warga Pelauw Semakin Tidak Menentu
Konflik di Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, 2012 lalu, masih menyisakan pilu. Konflik yang dipicu oleh masalah adat itu, tidak hanya memakan korban jiwa dan bangunan, namun juga tidak digelarnya lagi berbagai tradisi yang pernah menjadi kebanggaan desa dengan penduduk penganut Islam tersebut.
Desa Rohomoni di Maluku Tengah adalah lokasi yang menampung pengungsi terbanyak. Beberapa bulan setelah konflik, diperkirakan sebanyak 1.126 warga Pelauw yang mengungsi di situ.
Pengungsi di Rohomoni ini tinggal di rumah yang terbuat dari gaba-gaba (pelepah kering pohon sagu) dengan atap rumbia. Mereka tidak punya mata pencaharian dan sumber ekonomi. Harta berupa kelapa, pala, dan cengkeh mereka ada di Pelauw.
Kondisi ini membuat sebagian besar warga eksodus ke beberapa wilayah di Ambon, seperti Air Besar, Kate, dan Waiheru. Sedangkan, pengungsi yang tersisa di Pelauw sekitar 200 lebih jiwa.
Upaya rekonsiliasi telah dilakukan untuk menanganni permsalahan pengungsi Desa Pelauw, Perwakilan pemuda dan mahasiswa yang menamakan diri Forum Komunikasi Masyarakat Pengungsi Pelauw (FKMPP), meminta kepada Presiden Jokowi turun tangan menyelesaikan konflik berdarah yang terjadi di Desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, pada Februari 2012 dan konflik-konfik sebelumnya. Desakan itu disampaikan saat massa berunjuk rasa di depan Istana Merdeka.
Sejak konflik pecah, penyelesaiannya, rehabilitasi dan rekonstruksi damai hingga detik ini tak kunjung terlaksana sebagaimana arahan Mendagri dalam Rapat Koordinasi Nasional Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial Tahun 2017 lalu.
Kurang lebih 7 tahun setelah konflik, para pengungsi kini masih hidup menumpang di rumah warga, tanpa menerima apapun bantuan dari pemerintah. Mereka terpaksa bertahan hidup dengan mengharapkan bantuan dari warga setempat.
Penolakan Pembangunan Rumah Soa Salampessy dan Pemicu Konflik
Pengurus Forum Komunikasi Masyarakat Pengungsi Pelauw (FKMPP) dan Dewan Pimpinan Pusat Angkatan Muda Hatuhaha Waelapia (DPP AMHW) meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tengah dan Pemerintah Negeri Pelauw, untuk bersikap adil melihat rencana renovasi rumah pusaka milik soa besar dari marga Salampessy, secara sepihak. Sebab, dapat memicu konflik baru.
Pemda dinilai membiarkan pengungsi Pelauw diusir saat kembali membersihkan rumah terbakar dan sejumlah rumah soa termasuk marga Salampessy . Sementara rencana renovasi rumah besar Salampessy kali ini, tetap dibiarkan. Padahal, rumah pusaka Salampessy itu merupakan salah satu penyebab konflik saudara pecah antar sesama warga Pelauw tahun 2012 lalu.
Terkait dengan Pembangunan Rumah Soa Salampessy, telah dilakukan pertemuan antara Dandim, Kapolres, unsur Polda Maluku, unsur Pemda Maluku dan Pemda Maluku Tengah ,dan Bapak Raja Desa Pelauw dengan masyarakat pelauw terkait pembangunan rumah soa Salampessy hasil pertemuan tersebut Pembangunan Rumah Soa Salampessy tetap akan dilanjutkan. (Rabu, 02/01/19)
Referensi : kabartimurnews, kompas,detik,salawaku