Ketua Umum IPPMAP M. Syarif Tuasikal, ST
Ambon, SALAWAKU – Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pelauw (IPPMAP) menyatakan dengan tegas menolak hasil rekonsiliasi antara Pemerintah negeri adat Pelauw dengan warga Kariu di Kantor Gubernur Maluku, di Ambon, pada Senin (14/11/2022).
Hasil rekonsiliasi itu menghasilkan kesepakatan mengembalikan pengungsi Kariu ke tempat tinggalnya.
“Pertemuan kemarin IPPMAP sebagai organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Pelauw tidak dilibatkan. Oleh karena itu, IPPMAP tetap tinggikan penolaian warga Kariu kembali,” kata Ketua Umum IPPMAP M. Syarif Tuasikal dalam keterangan, Selasa (15/11/2022).
IPPMAP tetap menolak pengungsi Kariu dikembalikan, dan menyampaikan usulan kepada pemerintah daerah supaya merelokasi warga Kariu ke tempat yang lebih aman atau menginisiasi program transmigrasi lokal.
Syarif mengatakan, usulan tersebut sebagai solusi yang tepat untuk menyelamatkan generasi muda dua negeri dari ancaman konflik yang berpotensi terjadi di tahun-tahun yang akan datang.
“Silahkan relokasi Kariu ke tempat lain, kalau lebih bagusnya di Pulau Seram. IPPMAP tetap konsisten dengan sikapnya menolak Kariu kembali, karena itu sudah menjadi hasil koputusan Mosonipi beberapa waktu lalu. Silahkan pemerintah mempertimbankan usulan kami biar kami bisa hidup aman selama-lamanya. Kalau warga Kariu dikembalikan maka potensi konflik masih sangat mungkin terjadi,” tutur Syarif.
“Lalu siapa yang akan bertanggung jawab bila lkonflik terjadi lagi. Siapa yang bakal bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak di dua negeri ini. Karenai konflik antara warga negeri adat Pelauw dengan warga Kariu sudah berulang-ulang terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka sampai terakhir pada Januari 2022 lalu. Jadi kami minta dengan tegas kepada pemerintah daerah supaya tidak melakukan kesalahan sejarah yang pada akhirnya mengorbankan kami sebagai anak-anak generasi muda,” lanjut Syarif.
Oleh karena itu, IPPMAP sedang konsolidasi besar-besaran untuk menyiapkan aksi massa menolak pengungsi Kariu kembali. Aksi digelar dalam bentuk mimbar bebas sambil orasi-orasi oleh kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa, maupun tokoh-tokoh adat negeri Pelauw, dan dusun Ory. Aksi akan berlangsung selama beberapa hari sampai pemerintah daerah benar-benar membatalkan rencana mengembalikan pengungsi Kariu.
“Kita akan bikin parlemen mimbar terbuka di Pelauw dalam waktu dekat. IPPMAP dengan semua organ kepemudaan milik anak negeri dalam rangka menyatukan tekad menolak hasil keputusan kemarin. Karena sejatinya elit yang hadir itu mereka sesungguhnya tidak mewakili aspirasi masyarakat Pelauw secara keseluruhan,” ungkap dia.
“IPPMAP konsisten dengan keputusan Mosonipi. Selanjutnya kita akan lakukan parlemen jalanan. Kita mengajak semua anak-anak muda Pelauw dan Ory untuk kuatkan penolakan, blokade jalan dalam rangka menghadang mereka supaya tidak kembali. Dan kami siap dengan risiko terburuk apabila pemerintah tetap memaksakan diri mengembalikan mereka,” tambahnya.
Untuk diketahui, pertemuan rekonsiliasi antara warga negeri adat Pelauw dan Kariu digelar di Kantor Gubernur Maluku, Senin (14/11/2022). Pertemuan itu dihadiri Deputi I Kantor Kesektariatan Presiden Febri Calvin Tetelepta, Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif, Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Ruruh Aris Setyawibawa, Penjabat Sekda Maluku Sadali Ie, dan Penjabat Bupati Maluku Tengah Muhammat Marasabessy.
Kesepakatan damai antara kedua pihak tertuang secara tertulis yang ditandatangani Raja Negeri Pelauw, dan Penjabat Negeri Kariu. Akta damai yang ditandatangani itu berisi 22 butir kesepakatan dan salah satu butir penting adalah pemulangan masyarakat Kariu yang saat ini sementara ditampung di Negeri Aboru pada 22 Desember 2022.
Rekonsiliasi tersebut sebagai buntut dari konflik dua negeri yang terjadi pada 26 Januari 2022. Dalam insiden itu 4 warga negeri adat Pelauw dan seorang personil kepolisian tewas akibat tekena peluru tajam. Tidak hanya itu, tanaman cengkeh milik warga Pelauw dan dusun Ory ditebang. Namun hingga saat ini tidak ada upaya ganti rugi dari warga Kariu, maupun pemerintah daerah.
“Kalau penyelesaian suatu konflik yang terkesan dipaksakan dan apalagi punya tendensi politik maka percayalah penyelesaian itu hanya bersifat semu. Karena persoalan pokok yang mendasari konflik ini terjadi hingga saat ini belum terselesaikan, baik itu yang menyangkut tapal batas, ganti rugi tanaman umur panjang, maupun soal pemberian uang kompensasi yang layak terhadap korban. Cara penyelesaian yang prematur seperti inilah yang berpotensi memicu konflik di waktu-waktu yang akan datang,” tutup Syarif. (*)